Jumat, 16 Agustus 2013

Kumpulan Cerita 16 Agt 2013


1. Cara Cepat Naik Gaji
Dewi, karyawan cantik berpayudara besar datang keruangan bos nya untuk meminta naik gaji.
Dewi: "Pak, saya minta naik gaji dong..." (sambil mendekatkan dadanya ke muka bosnya)
Bos: "Gak bisa! Kamu kerjaannya malas!" (tapi sambil melirik ke dada Dewi)
Dewi: "Kalo dinaikin 50 ribu, saia buka kancing 1 pak..." (sambil memegang kancingnya siap membuka)
Bos: (mikir cuma 50 ribu|) "Okelah buka 1 kancing..."
(Dewi membuka satu kancing)
Dewi: "Mau 1 kancing lagi pak?? Jadi tambah 100 ribu..."
Boss: (makin penasaran dan deg-degan) "Boleh lah 100 ribu..."
Dewi: "Tanggung lho pak 2 kancing lagi..."
(Boss tambah penasaran dan keringat dingin melihat dada Dewi)
Boss: "Ada berapa kancing baju kamu? Buka semua!!"
(Lalu Dewi membuka kancing-kancing bajunya)
Dewi: "Ada 4 pak jadi nambah 200 ribu ya, tuh udah liat kan... Makasih ya Pak..." (lalu Dewi berjalan ke arah pintu keluar)
Boss: "Lho, mau kemana kamu? Kancingin dulu baju kamu sebelum keluar... Apa kata orang, kalo kamu keluar dari ruangan saya kancingnya lepas gitu?"
Dewi: "Kalau mau saya kancingin, 1 kancingnya naik 1 juta pak..."
--------------------------------------------------------------------------------
2. Apakah TUHAN menginap dirumah?
Joe kecil: "Mama, apakah Tuhan menginap di rumah kita?"
Mama: "Tentu tidak, Nak, Tuhan itu tempatnya di Surga, Sayang..."
Joe kecil: "Tapi, ma..."
Mama: "Apalagi joe?"
Joe kecil: "Kemarin sore joe dengar suara papa di kamar pembantu katanya ngomong gini: 'Oh Tuhan..,tubuh kamu bagus bangeett...'"
Mama : "SIALAN !!Golok mana golok ?!?!"
--------------------------------------------------------------------------------
3. Menikah dengan Tentara
Wati menikah dengan seorang Tentara, sedangkan adiknya Wita menikah dengan seorang Polisi. Tapi Wati dan Wita sering curhat mengeluh tentang urusan ranjang.
Suatu saat, di dalam kamar Wati memprotes suaminya: "Kenapa sih Mas, cepet banget keluarnya. Aku kan msh pengen..!!!"
Sang Suami dengan tegas dan lantang menjawab: "Aku ini tentara Dik, jadi sekali keluarkan senjata langsung tembak. Apalagi dalam keadaan sudah terjepit!! Ingat Filosofi tentara kill or be to killed, jadi gak boleh keduluan."
Di kamar lain Wita juga memprotes Suaminya: "Kenapa sih Mas, lama banget keluarnya. Dengkulku sampai mau copot, capeeeek.... deeeh..."
Sang suami dengan sigap menjawab: "Aku ini polisi Dik.. Walau senjata sudah diacungkan, tapi menembak itu tindakan paling akhir kalau tidak ada alternatif lain, jangan sampai melanggar HAM!!! Ingat Dik, filosofi polisi fight crime, love humanity, help delinquent, jadi tak boleh nembak sembarangan...! Sabar yaa Dik.."
--------------------------------------------------------------------------------
4. Coblos
Di toilet pria:
Obed : "Bro, kenapa barang lo ujung nya biru lebam gitu?"
Yongki : "Bini gue, Bro..."
Obed : "Gile... diapain bro ampe biru gitu...???"
Yongki : "Ga diapa-apain, diolesin tinta Pilkada... katanya supaya ngga nyoblos lagi ditempat lain..."
--------------------------------------------------------------------------------
5. Rambu rambu yang paling dipatuhi
Di gerbang sebuah kompleks ada rambu bertuliskan:
"AWAS PELAN-PELAN, BANYAK PENYEBERANG JALAN..!!!"
Tapi pengendara tetap saja ngebut jalannya...
Karena rambu tersebut tidak dipatuhi pengendara maka pak RT membuat rambu yang lain lagi:
"AWAS PELAN-PELAN BANYAK ANAK-ANAK..!!!"
Ternyata rambu itupun tak diindahkan juga...
Namun pak RT gak kurang akal, dipasangnya rambu baru dengan tulisan:
"AWAS PELAN-PELAN, BANYAK PEREMPUAN TELANJANG..!!!"
Dan ternyataaaaaa...
Sejak rambu itu dipasang, tidak ada lagi yang berani ngebut dijalan. Bahkan mereka terlihat sangat sopan dan waspada, mereka selalu melihat kekiri dan kanan... celinglak-celinguk ketika berjalan...

__._,_.___

Jumat, 12 Juli 2013

Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa



Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang becak ...?"

Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan ...," gumamku.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan ... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.

"mmm ..., Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu.

"Ya dik, saya muslim ..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh

"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan. Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa ..." deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.

Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini."

Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya,

"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa," jelas bapak tukang becak itu.

"Maksud bapak?" mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.

"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya ..."

"Jadi ...," belum sempat kuteruskan kalimatku,

"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan ..."

"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar ...

Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."

"hmm, simpan saja buat sahur bapak besok ya ..."

Selamat berpuasa utk saudara2 ku yg muslim.

--.--.--.--





__._,_.___

Kamis, 18 April 2013

Kisah Ayahku


Kisah Ayahku,

Seorang Penjual Tahu Yang Tunawicara

Diterjemahkan Oleh: Susiany
 
Kisah nyata yang sangat menyentuh perasaan
Tempat kejadian di kota Tie Ling , provinsi Liao Ning utara , China. 
 
Di suatu sudut di ujung jalan di dalam kota Tie Ling ......hampir setiap pagi atau senja, orang2 akan melihat seorang laki-laki tua dengan perlahan-lahan mendorong gerobak tahu dagangannya .
Dari corong pengeras suara terdengar suara merdu dan jernih seorang gadis. Tahu.. tahu ... tahu asin.....!
Tahu... tahu.... , itulah suaraku dan laki-laki tua pedagang tahu itu adalah ayahku. Ayahku adalah seorang tunawicara atau bisu.
Setelah aku berusia duapuluhan, barulah aku mempunyai keberanian untuk menaruh rekaman suaraku di gerobak dorong tahu jualan ayahku untuk menggantikan suara keliningan yang telah dia pergunakan selama puluhan tahun.
Saat aku berusia 2-3 tahun, aku sudah merasakan betapa memalukan mempunyai seorang ayah yang bisu, sehingga dari kecil aku telah membencinya. Saat itu aku melihat anak-anak kecil yang ikut ibunya membeli tahu dagangan ayahku, mereka mengambil lalu lari tanpa membayarnya. Ayahku hanya dapat menjulurkan leher tanpa dapat menyuarakan apapun. Aku tidak seperti kakak sulungku yang langsung mengejar dan memukul anak-anak tersebut .
Saat itu aku sedih sekali melihat kejadian tersebut dan hanya dapat berdiam diri saja. Herannya aku tidak membenci anak-anak tersebut, malah sebaliknya membenci ayahku yang bisu itu .
 Meskipun ketika kedua abangku membantu menyisir rambutku dan membuatku sakit, aku tetap tidak mengizinkan ayahku mengepang kuncir kecilku.
Saat ibu wafat, beliau tidak meninggalkan foto dirinya yang cukup besar, hanya selembar foto berukuran 2 inci hitam putih bersama dengan tetangganya sebelum dia menikah. Di saat aku sedang sebal terhadap ayah, maka ayahku akan memandangi foto ibuku dengan berdiam diri, memandangi tanpa berhenti sampai dia harus mulai bekerja lagi, baru pergi meninggalkan foto tersebut .
Aku paling jengkel bila anak-anak lain memanggilku dengan "anak ketiga si bisu ". Saat itu aku tidak dapat melawan mereka, maka aku hanya akan berlari pulang ke rumah menghadap ayah yang sedang mendorong penggilingan tahu. Aku kemudian membuat sebuah lingkaran di atas tanah lalu meludah di tengah2 nya.
 Walaupun aku tidak mengerti apa artinya hal itu , namun aku sering melihatnya di saat anak-anak tersebut mengejek ayahku melakukan hal yang serupa. Maka kesimpulanku inilah ejekan yang paling sadis untuk seorang bisu.
 Pertama kali aku mengejek ayahku dengan cara ini, ayah segera menghentikan pekerjaannya dan lama berdiam memandangi diriku dan air matanya mengalir dengan deras. Aku jarang melihat dia menangis, tetapi hari itu dia bersembunyi di ruang pembuatan tahu dan menangis semalam suntuk. Itulah sebuh tangisan TANPA SUARA. Ketika melihat ayah menangis, barulah aku merasa puas karena memperoleh pelampiasan atas segala rasa hina yang aku terima selama ini.
 Sejak saat itu aku sering berlari di depannya , mengejeknya lalu meninggalkannya seorang diri. Namun saat-saat itu ayahku sudah tidak menangis lagi, tubuhnya yang kurus hanya meringkuk dan menyandarkan diri di kayu atau di meja penggilingan tahu. Mimik wajahnya justeru membuat aku lebih merasa hina.
 Aku kemudian memutuskan untuk belajar dengan giat dan baik, masuk universitas dan meninggalkan desa ini, dimana semua orang tahu bahwa ayahku adalah si bisu yang memalukan itu. Inilah harapan dan cita-citaku saat itu.
Aku tidak tahu kalau semua abangku sudah berkeluarga, aku juga tidak tahu bagaimana keadaan bisnis tahu ayahku. Demikian juga aku tidak tahu berapa musim telah berlalu seperti juga berapa kampung dan desa bunyi keliningan itu mengelilinginya.
 Aku memacu diriku dengan rajin belajar secara mati-matian dan bersikap keras terhadap diriku sendiri, sehingga achirnya aku berhasil diterima di sebuah universitas.
 Di suatu senja di musim gugur tahun 1992, untuk pertama kalinya aku melihat ayahku memakai baju berwarna biru yang dibuat bibiku pada tahun 1977. Sambil duduk di bawah lampu dengan penuh perasaan gembira dan penuh rasa hormat dan hati-hati dia memberikan setumpuk uang yang masih terasa bau tahu ke dalam tanganku. Mulutnya tidak henti-hentinya bergumam.
Aku terhenyak mendengar rasa bangga dan kehangatan darinya. Terhenyak melihatnya tersenyum bangga dan penuh kepuasan ketika memberitahu keberhasilsanku kepada para tetangga dan famili.
Demikan juga saat aku melihat ayahku bersama paman kedua dan abangku menggelandang keluar seekor babi yang gemuk dan besar untuk disembelih dan mengundang seisi kampung untuk merayakan keberhasilanku masuk ke universitas .
 Aku tidak tahu faktor apa yang menyentuh lubuk hatiku yang keras itu.... sehingga tanpa terasa aku menitikkan air mata, aku MENANGIS.
 Saat makan bersama, di hadapan para tamu aku mengambilkan beberapa potong daging ke dalam mangkoknya. Sambil menangis aku berkata AYAH, AYAH makan dagingnya ya! Ayah pasti tidak dapat mendengarnya, namun aku yakin dia pasti mengerti apa maksudku. Dari sorot matanya aku melihat secercah sinar yang tidak pernah terpancarkan sebelumnya.
 Air matanya bercampur dengan arak Gao Liang (Gandum) yang diteguknya sambil mengunyah daging yang diambilkan ke piring oleh puteri tercintanya. Ketika itu ayahku benar-benar mabuk penuh kegembiraan, rona wajahnya merah sekali, pinggangnya begitu tegak , dan bahasa tubuhnya pun tampak begitu indah dan elegan.
 Mau tahu apa sebabnya? Selama delapanbelas tahun, aku ulangi selama delapanbelas tahun dia belum pernah mendengar aku memanggilnya ayah! 
 Dengan susah payah, ayah tetap menjalankan usaha tahunya agar dapat membiayai kuliahku dengan lembaran-lembaran uang yang masih terasa aroma bau tahunya sehingga aku berhasil menyelesaikan kuliahku. 
 Tahun 1996 aku lulus dan ditugaskan di kota yang berjarak 40 km dari kampung halamanku. Setelah semua urusannya beres, aku menjemput ayahku yang selama ini hidup sendiri untuk menikmati sisa hidupnya di kota bersamaku. 
Namun apa mau dikata, saat dalam perjalanan pulang ke kampung halamanku, terjadilah kecelakaan ini......
Dari kakak iparkulah achirnya aku tahu apa sebenarnya yang menimpa diriku saat itu. 
Diantara kerumunan orang yang menyaksikan kecelakaan itu ada yang mengenaliku adalah anak ketiga dari ayah bisuku. Kedua abangku beserta istrinya tiba, melihat diriku yang sudah tidak sadarkan diri, mereka menjadi kalang kabut. Yang terakhir datang adalah ayahku ..... Dia menyeruak dari kerumunan orang banyak, menggendongku yang sudah dianggap pasti mati oleh orang-orang yang menyaksikan dan menyetop sebuah kendaraan. Ayah menopang tubuhku dengan kedua kakinya, merogoh saku kantong dan mengeluarkan segepok uang receh hasil penjualan tahu dan menjejalkannya kedalam tangan si supir dan memohon kepadanya unit untuk menghantarkan aku ke rumah sakit.
Menurut kakak iparku, ayahku yang bagitu ringkih saat itu menjelma menjadi begitu bertenaga dan tabah.
Setelah luka-lukaku dibersihkan, dokter meminta untuk dipindahkan ke rumah sakit lain,  mamberitahu ke abangku bahwa aku sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup .
Keadaanku saat itu, tekanan darahku sudah hampir tidak terukur, dan kepalaku luka parah dan bengkak.
Ayahku merobek "baju berkabung" yang telah dibeli oleh abangku dalam ke terputuasaannya. Ayah menunjuk matanya sendiri dengan ibu jarinya, kemudian menunjuk ke aku, menjulurkan ibu jarinya lagi, menggoyang-goyang kan tangan lalu menutup matanya. Artinya adalah: kalian jangan menangis, saya aja tidak menangis, maka kalian jangan menangis. Adik perempuanmu tidak akan meninggal, dia baru berusia dua puluh tahunan, dia pastinya dapat bertahan, kita pasti dapat menolongnya.
Dokter tetap dengan pendiriannya, dia meminta abangku untuk memberitahu ayahku. Bahwa, anak gadismu ini tidak dapat ditolong lagi, seandainya mau ditolongpun juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, ... meskipun demikian juga belum tentu tertolong .
Ayahku bersujud di lantai, kemudian berdiri lagi, menunjuk ke aku, mengacung-acungkan  tangannya, dengan bahasa tubuhnya membuat gerakan bercocok tanam, memotong rumput, memelihara babi, mendorong penggilingan, dengan gaya-gaya tersebut ..... kemudian mengeluarkan sakunya yang sudah kosong, kemudian memasukkannya lagi.
Artinya adalah : saya mohon, tolonglah putriku, putriku sangat potensial sekali, kalian harus menolongnya, ... Saya akan mengumpulkan uang untuk membayar semua ongkos-ongkos rumah sakit, dengan babi-babiku, bercocok tanam, membuat tahu. Saya punya uang, sekarang saya punya Empat Ribu yuan! Dokter memegang erat tangannya, menggeleng-gelengkan kepala, memberi isyarat bahwa uang ini masih jauh dari mencukupi .
Ayahku gusar sekali, dia menunjuk abangku, kakak iparku, mengepalkan tinjunya mengisyaratkan bahwa kami dapat berusaha bersama, kami pasti dapat melakukannya. Melihat Dokter diam saja, maka ayah menunjuk-nunjuk platfon, menjejakkan kaki di lantai, menangkupkan kedua tangannya, ditaruhnya dipelipis kanan sambil memejamkan mata. Yang berarti: saya punya rumah, bisa dijual, saya bisa tidur dilantai .... sekalipun saya bangkrut, saya juga harus berjuang untuk kehidupan anak gadisku .
Lalu menunjuk Dokter sambil menangkupkan kedua tangannya, artinya Dokter jangan kuatir kita tidak akan mengingkari janji ... soal biaya kami akan berusaha untuk mendapatkannya.
Abang tertuaku sambil menangis menjelaskan arti dari bahasa tubuh ayahku ke Dokter tersebut.
Belum sampai selesai menjelaskannya ,Dokter yang telah terbiasa menghadapi pasien-pasien yang sedang sekarat, kali ini tidak kuasa menahan airmatanya yang telah memenuhi seluruh wajahnya.
Melihat gerakan tangan ayahku, saat memperagakan dan mengutarakan maksudnya, siapa pun yang menyaksikannya pasti akan meneteskan airmata.
Kemudian sang Dokter berkata, sekalipun telah dilakukan tindakan operasi, juga belum tentu dapat tertolong nyawanya.
Ayahku menepuk-nepuk kantong sakunya dan menepuk-nepuk dadanya, yang berarti: Kalian harus berusaha sekuat tenaga, seandainya gagal sekalipun saya akan tetap membayarnya dan tidak akan complain.
Cinta yang sangat agung dan tulus dari seorang ayah ..... tidak saja menopang hidupku, namun juga menopang dan menyemangati sang Dokter dalam keyakinannya untuk mengoperasiku.
Aku dibawa masuk kedalam ruang operasi .... ayah menungguiku di luar kamar operasi sambil mondar mandir dengan gelisah .... sampai sol sepatunya robek.
Ayah tidak meneteskan setitik airmata pun, namun dalam penantian selama lebih kurang sepuluh jam itu seluruh mulutnya muncul gelembung-gelembung kecil. Dengan tidak henti-hentinya ayah berdoa kepada Thian, mohon diberikan kesembuhan dan kesempatan untuk hidup lagi bagi putrinya. Rupa-rupanya Thian pun tersentuh hatinya atas ketulusan ayahku ..... dan aku terselamatkan!
Selama setengah bulan aku dalam keadaan koma dan tidak tahu sama sekali apa yang menimpa diriku. Aku telah menjadi " manusia pohon " .... semua orang telah kehilangan keyakinan bahwa aku akan dapat sadar kembali. Hanya ayah yang dengan setianya menungguiku di samping ranjangku, dengan suatu keyakinan bahwa aku pasti akan sadar kembali. Dengan jari-jari tangannya yang kasar ayah memijatiku dengan sangat hati-hati ..... Dan dengan suara yang tidak jelas dia terus menerus memanggil-manggil namaku ... Dia memanggil : YOEN YA DAO ! YOEN YA DAO ! (anak gadis YOEN ), sadarlah! Ayah menungguimu, minumlah air susu kacang yang baru kubuat ini .......
Supaya para Dokter dan perawat memperhatikanku, maka saat abangku menggantikan ayah untuk menungguiku, maka ayah membuat tahu ..... Dan masih dalam keadaan baru dan panas, dibagikannya kepada para perawat dan juga karyawan yang ada dalam rumah sakit itu.
Walaupun ada peraturan dalam rumah sakit itu tidak boleh menerima barang pemberian dari keluarga pasien, namun menghadapi ketulusan, kejujuran dan keluguan dari sikap ayahku itu, maka merekapun menerimanya. Ayahku puas sekali dan makin menambah keyakinannya bahwa aku pasti sembuh. Ayah berbicara dengan bahasa tubuhnya kepada karyawan di rumah sakit itu: "Kalian adalah orang baik dan hebat! Saya sangat yakin bahwa kalian pasti dapat menyembuhkan putriku". 
Dalam kurun waktu itu, untuk mengumpulkan biaya rumah sakit, ayah menjajaki semua kampung-kampung dan desa-desa di mana dia pernah menjual tahunya ...... Dengan reputasinya, di mana orang-orang mengenal kebaikan, kejujurannya ..... maka ayah memperoleh banyak dukungan untuk memperkuat semangatnya untuk menyelamatkan nyawa putrinya yang masih dalam keadaan antara hidup dan mati.
Para tetanggga, kawan-kawan dan sahabatnya dengan sukarela membantu menyisihkan uang ....... Dan ayahku pun tidak ceroboh, dia mencatatnya dengan seksama nama-nama penyumbang itu: 
- Chang San 20 yuan 
- Li Kang 100 yuan 
- Ny Wang 65 yuan 

Suatu pagi setelah aku koma selama setengah bulan, achirnya aku dapat membuka mata! Yang kulihat adalah seorang tua yang sangat kurus, ayah membuka mulutnya lebar-lebar karena terperanjat .....
sangat girang melihat aku mendusin dan ayah menggumam tak karuan. Uban yang ada dikepalanya dengan cepat menjadi basah oleh keringat karena keharuannya ...
Ayahku, yang setengah bulan yang lalu masih belum beruban, sekarang menjadi sangat tua sekali, rambutnya penuh dengan uban putih dan tampak duapuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya ....
Rambut dikepalaku yang botak sudah mulai tumbuh kembali ..... ayahku membelainya dengan penuh kasih sayang ..... Dulu sekali belaian semacam ini adalah suatu kemewahan yang diharapkan olehnya .... karena selalu aku menolak saat ayah mau melakukannya. Enam bulan kemudian rambutku sudah mulai dapat dikepang! Aku meraih lengan ayahku dan membiarkannya menyisir rambutku ......
Ayah menjadi canggung sekali .... Ayah menyisirnya dengan pelan-pelan, namun ayah tidak dapat menyisirnya dengan baik ...... maka aku mengikat rambutku asal- asalan saja dan naik ke gerobak dorong yang telah dirubah menjadi sebuah kereta kecil.
Pernah sekali ayah menghentikan keretanya, menghampiriku dan membuat gerakan seolah-olah mau menggendongku, lalu kemudian membuat gerakan mau melemparku ..... kemudian membuat gerakan seperti menghitung uang! Ternyata dia mau menjualku seperti tahu yang dijualnya ......
Tentunya ayah bercanda, maka akupun menutup wajahku sambil menangis, maka ayah akan tersenyum tanpa suara ....... Dan aku mengintip melalui sela-sela jari tanganku, melihatnya tertawa sambil berjongkok dilantai. Permainan ini ayah lakukan sampai aku dapat berdiri dan berjalan lagi ...
Selain kepalaku yang masih kadang-kadang sakit, selepas itu aku sangat sehat .... Kami bekerja keras bersama-sama untuk melunasi pinjaman kami ..... Dan achirnya ayah ikut aku pindah ke kota dan hidup bersamaku.
Berhubung ayah sudah terbiasa kerja, maka beliau tidak dapat berdiam diri ... maka aku menyewa sebuah rumah kecil untuk ayah membuat usaha tahunya. Tahu buatan ayahku sangat enak, harum, empuk dan potongannya cukup besar sehingga pembeli suka sekali menyantapnya! 
Aku memasangkan alat pengeras suara di gerobak dagangannya, walaupun ayah tidak dapat mendengar suara nyaringku, namun beliau paham apa artinya! Begitu ayah memencet tombol itu, maka dengan bangganya ayah mengangkat kepalanya dan dari wajah tuanya terpancar suatu kepuasan dan kebahagiaan.
Bila aku mengingat dulu betapa aku sering menghina dan mengejeknya, namun beliau tidak pernah mendendam sama sekali ..... sehingga akupun tidak tega untuk menyatakan penyesalanku.
Aku sering berpikir: Seandainya bila semua INSAN dibumi ini penuh dengan music SYMPHONI CINTA kami dapat mendengarkannya, menyimaknya, merasakannya, tergetar kalbu kita ....... Namun bagi ayahku yang bisu itu, membuatku memahami dan mengerti bahwa sebenarnya MUSIC yang paling indah dan dahsyat itu adalah KEHENINGAN tanpa SUARA. Itu adalah KEKUATAN terdahsyat yang tidak terbantahkan kekuatannya ..... menghantarkan pemahamanku tentang CINTA ke tempat posisi yang tertinggi.
Marilah kita saling bersilahturami dan bersahabat secara tulus dan ichlas ..... oleh karena dalam hidup ini kita sulit dan jarang mendapatkan, menemukan persahabatan yang SEJATI.
Marilah kita berbuat lebih baik lagi terhadap orang tua kita , karena setelah waktu berlalu maka yang tertinggal adalah KENANGAN 
Marilah kita lebih TULUS lagi terhadap pasangan, karena setelah waktu berlalu tidak mungkin lagi dapat berjalan bersama sambil bergandengan tangan.
Marilah kita lebih memperhatikan perkembangan anak kita, karena setelah waktu berlalu maka kita tidak dapat lagi MEMELUK dan MERANGKULNYA.
Marilah dalam setiap PERTEMUAN, kesempatan kita untuk bersilahturami dengan TULUS TANPA PAMRIH ..... menyatakan rasa berterimakasih dan bersyukur! 
Biarkanlah setiap detik, setiap saat yang kita temui adalah KETULUSAN. Karena ..... sekali lagi karena ..... setelah waktu berlalu ..... Maka semua ini tidak mungkin akan terjadi lagi .......
 
.............. Selesai ............

 

Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepadaku , dan maaf bila ada yang kurang sempurna dalam pemilihan kata - kata dan rangkaian kalimat .