Kamis, 22 Desember 2011

Kisah Nyata

  
Ketika Sri Sultan HB IX terkena tilang di Pekalongan
(Aryadi Noersaid)

Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis. Pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya.
Kudapan nasi megono khas Pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.
 
Becak dan delman amat dominan masa itu. Persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk-angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir.
Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman.
 
Brigadir Royadin memandang dari kejauhan,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan Pekalongan berhenti dihadapannya.
 
Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
"Selamat pagi!"  Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna .
"Boleh ditunjukkan rebuwes!"
Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca.
Jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
"Ada apa pak polisi ?" tanya pria itu.
Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa pria itu. "Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati.
 
Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. "Bapak melangar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!”
Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogjakarta Hadiningrat. Kanjeng Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari Jogja ke Pekalongan yang jauhnya cukup lumayan, entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan namun sultan menolak.
"Ya ..saya salah, kamu benar, saya pasti salah !”
 
Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. "Jadi…?” Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
"Em..emm ..bapak saya tilang, mohon maaf!”
Brigadir Royadin heran, kanjeng sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya.
Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan rajapun beliau tidak melakukannya.
"Baik..brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Kanjeng Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.
 
Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang. Ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya.
Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kanjeng sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi.
"Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
 
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun Pekalongan, brigadir Royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk.
Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
 
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut,Ialu kembali ke rumah dengan sepeda abu abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak-ledak di markas polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh-gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. "Royadin!!, apa yang kamu lakukan ..!! sak enak-e dewe ..!!"
"Ora mikir ..!!" "Iki sing mbok tangkep iki sopo heh..?" "ngawur..ngawur!!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa.
Ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
"Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..?" "biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia!!, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
"Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas
"Ya ·· tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia! !..ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur…!!.
"Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri !" Derai komisaris.
 
Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara. Brigadir Royadin pasrah.
Apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Memang "koppig" (keras kepala) kedengarannya.
Kepala Polisi Pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes!.
Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaan sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari.
 
Pada akhirnya Kepala Polisi Pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogjakarta untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikutsertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa. Satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota Pekalongan Selatan.
 
Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan Soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
"Royadin…!"···· minggu depan kamu diminta pindah!!”
Lemas tubuh Royadin. Ia membayangkan harus menempuh jalan yang  menanjak dipinggir kota Pekalongan setiap hari karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan Soko.
"Siap pak !” Royadin menjawab datar.
"Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan.
Untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan Selatan. Ini hanya merepotkan diri saja.
"Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
"Ngawur…!!  Kamu sanggup bersepeda Pekalongan –Jogja ?" pindahmu itu ke jogja!! bukan disini. Sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris sambil menyodorkan surat yang ada digenggamannya kepada brigadir Royadin.
 
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya:
"Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas". "Saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.”
Ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya.
Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sri Sultan HB IX, namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
 
"Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari Pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya".
"Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !”, kata Brigadir Royadin bergetar.
Ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sri Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya!!.
 
July 2010 , saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada Sang Khalik dari keluarga di Pekalongan, saya tak memiliki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya. Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak famili yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya, sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya. Pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
 
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati. Dan juga kepada pahlawan bangsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari Sabang sampai Merauke.

 

Rabu, 14 Desember 2011

Asal Mula Pohon Natal

 

oleh: Romo William P. Saunders *

Kisah Pohon Natal merupakan bagian dari riwayat hidup St. Bonifasius, yang nama aslinya adalah Winfrid. St. Bonifasius dilahirkan sekitar tahun 680 di Devonshire, Inggris. Pada usia lima tahun, ia ingin menjadi seorang biarawan; ia masuk sekolah biara dekat Exeter dua tahun kemudian. Pada usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling dalam wilayah Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar, murid abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi pimpinan sekolah tersebut.

Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah masih belum mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan untuk menjadi seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu perjuangan singkat, ia mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci menugaskannya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga pada waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi Bonifasius). 

St. Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722, paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang terbesar adalah melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Injil dan bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai "Rasul Jerman", St. Bonifasius terus mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754. Marilah kita memulai cerita kita tentang Pohon Natal.

Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St. Bonifasius sedang melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno pada suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang dingin menggigit.
Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan agar mereka segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus maju dengan berkata, "Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar rembulan menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku tahu bahwa kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung halaman di Inggris, di mana orang-orang yang aku kasihi sedang merayakan Malam Natal. 

Oh, andai saja aku dapat melarikan diri dari lautan Jerman yang liar dan berbadai ganas ini ke dalam pelukan tanah airku yang aman dan damai! Tetapi, kita punya tugas yang harus kita lakukan sebelum kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam Natal, dan orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak Geismar untuk memuja dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh akan terjadi di sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-saudara kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum mengenalnya. Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!"

Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan kata-kata semangat St. Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke daerah terbuka. Mereka melihat rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang pun kelihatan. Hanya suara gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali memecah keheningan. Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang keramat. "Disini," St. Bonifasius berseru sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib di atasnya, "di sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan mematahkan palu sang dewa kafir Thor."

Di depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-percikan apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka, "Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api unggunmu di malam yang dingin." Sementara St. Bonifasius dan para pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang desa menatap orang-orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, "Aku saudaramu, saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang untuk menyampaikan salam dari negeriku, dan menyampaikan pesan dari Bapa-Semua, yang aku layani."

Hunrad, pendeta tua dewa Thor, menyambut St. Bonifasius beserta para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka, "Berdirilah di sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa mengumpulkan kita di sini! Malam ini adalah malam kematian dewa matahari, Baldur yang Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia. Malam ini adalah malam kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam kurban dan kengerian besar. Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan perang, kepada siapa pohon oak ini dikeramatkan, sedang berduka karena kematian Baldur, dan ia marah kepada orang-orang ini sebab mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya. Telah lama berlalu sejak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah lama sejak akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab itu daun-daunnya layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas hingga hampir mati.

Sebab itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran. Sebab itu, panenan telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan kawanan ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?" Orang banyak menggumamkan persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.

Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, "Tak satu pun dari hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga persembahan yang akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun merah yang akan memberi hidup baru bagi pohon darah yang keramat ini. Thor menghendaki persembahan kalian yang paling berharga dan mulia."

Dengan itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri disekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling elok, Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan bahwa anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna menyampaikan pesan rakyat kepada Thor. Orang tua Asulf terguncang hebat. Tetapi, tak seorang pun berani berbicara.

Hunrad menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang besar antara pohon oak dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan menyuruhnya berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-orang bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya dekat sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu dewa Thor keramat miliknya yang terbuat dari batu hitam, siap meremukkan batok kepala Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St. Bonifasius menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga palu terlepas dari tangan Hunrad dan patah menjadi dua saat menghantam altar batu. Suara decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari menjemput puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu memeluknya erat-erat.

St. Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang banyak, "Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah mengalir malam ini. Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus, Putera Bapa Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang Menawan, lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari Freya yang Baik.
Sebab Ia datang, kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati. Jauh dalam bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya. Dan sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru. Pohon darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama Tuhan, aku akan memusnahkannya." St. Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu hembusan angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya tercabut dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.

Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang pohon cemara muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St. Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, "Pohon kecil ini, pohon muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini adalah pohon damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon ini adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa hijau. Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta dan kasih."

Maka, mereka mengambil pohon cemara itu dan membawanya ke desa. Duke Alvold menempatkan pohon di tengah-tengah rumahnya yang besar. Mereka memasang lilin-lilin di dahan-dahannya, dan pohon itu tampak bagaikan dipenuhi bintang-bintang. Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk di bawah kakinya, menceritakan kisah Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan dengan takjub. Si kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, "Mama, dengarlah, aku mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon." Sebagian orang percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan bahwa itulah suara nyanyian yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius, "Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi, dan damai di bumi; rahmat dan berkat mengalir dari surga kepada manusia mulai dari sekarang sampai selama-lamanya."

Sementara kita berkumpul di sekeliling Pohon Natal kita, kiranya kita mengucap syukur atas karunia iman, senantiasa menyimpan kisah kelahiran Sang Juruselamat dalam hati kita, dan menyimak nyanyian pujian para malailat. Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Natal yang penuh berkat dan sukacita!

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of
  catechetics andtheology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.